Laman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 15 April 2015

TENTANG HUTANG PIUTANG





Islam menyarankan, Berhati-hatilah dengan Hutang!



BAGI yang sudah berkeluarga, tentu bukan hal yang asing lagi menghadapi permasalahan ekonomi. Apalagi jikalau permasalahan itu mendadak harus sampai membutuhkan uang yang cukup besar, bagi yang tidak punya, pasti akan kesulitan menghadapinya pada akhirnya cara akhir yaitu dengan meminjam atau berhutang.
Orang miskin dan kaya pun pasti pernah berhutang. Hutang dilakukan karena seseorang ingin memenuhi kebutuhan namun karena satu alasan, pemenuhannya bukan dari sumber pendapatan. Hal ini memaksa dirinya untuk menggunakan sumber pendanaan dari pihak lain. Berbagai alasan tentunya menjadi latarbelakang, mengapa mereka harus berhutang.
Bagaimana dalam pandangan islam mengenai seseorang yang berhutang?
Sangat disayangkan apabila orang berhutang karena alasan yang tidak jelas seperti karena perilaku boros, ikut-ikutan mengikuti trend dan gaya hidup dan sebagainya. Berkaitan dengan hidup boros, kita sebaiknya memperhatikan sinyalemen dari Allah SWT.
Allah SWT lebih menyukai Muslim yang hidup sederhana dibandingkan yang berlebih-lebihan atau boros. Hidup sederhana akan mencegah orang untuk berhutang. Hutang akan menjadikan seorang Muslim kesusahan di malam hari dan merasa terhina di siang hari.
Kita sering melihat perilaku yang muncul pada diri orang yang banyak berhutang. Di antaranya merasa malu atau minder yang menyebabkan dia sering menghindar bertemu dengan orang lain. Terutama dengan orang yang memberi hutang kepadanya. Sering merasa tidak percaya diri. Bila dia menjadi seorang pekerja maka terkadang dia menjadi sering tidak masuk bekerja. Hutang juga dapat mendekatkan diri pada kekufuran. Rasulullah SAW menyatakan hal tersebut pada sabdanya:
“Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Ya!,” (Riwayat Nasa’i dan Hakim)
Hutang juga dapat menyebabkan seseorang berkata tidak jujur. Apabila berkata, suka berdusta. Demikian yang dikatakan Nabi Muhammad SAW:
“Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi.” (Riwayat Bukhari)
Oleh karenanya Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa untuk terhindar dari hutang.
“Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan dalam kekuasaan orang lain.” (RiwayatAbu Daud)
Kita juga harus berhati-hati terhadap hutang karena Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan tidak tercapainya tujuan akhir kita yaitu kebahagian hidup di akhirat dengan sabdanya:
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang.” (Riwayat Muslim)
Oleh karenanya hutang harus segera dibayar sebelum kita meninggal. Sangat perlu diperhatikan bagi satu keluarga, apabila seorang istri atau suami berhutang kepada orang lain maka dia harus memberitahukan tentang hutangnya kepada pasangannya tersebut. Tujuannya adalah agar apabila salah satu dari keduanya meninggal sebelum sempat melunasi hutang maka pasangannya dapat melunasi hutang tersebut.
Bila terpaksa harus berhutang Rasulullah SAW mengajarkan kita meniatkan untuk melunasinya sesegera mungkin.
“Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia.” (Riwayat Bukhari).
Itulah penjelasan mengenai hadits yang mewaspadai akan berhutang. Seyogyanya Muslim dapat melihat bagaimana sifat mudhorotnya yang akan berdampak pada kita.
Sungguh jikalau kita bisa menahan diri dan tetap berada dalam jalan Allah, maka Allah akan senantiasa menolong kita dalam kesulitan apapun, namun kembali kepada niat dan keselamatan masing-masing karena suatu amal akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak secara individu. Wallahu a’alam 
[SumberCara Mudah Mengelola Keuangan Keluarga Secara Islami/Karya: Eko Pratomo /Penerbit:  Hijrah Institute-Jakarta]

Kamis, 09 April 2015

Upaya Syetan Menjerumuskan Manusia Saat Sakaratul Maut






Sudah menjadi kehendak Allah sejak zaman azali bahwa iblis dan bala tentaranya para syaitan menjadi musuh manusia. Musuh dalam arti hakiki, yang akan menyengsarakan manusia dalam kehidupan yang sebenarnya, kehidupan akhirat yang kekal abadi. 
Tetapi dalam kehidupan dunia yang sementara ini, jika kita tidak waspada dan hati-hati, bisa jadi syaitan menjadi teman dan sahabat-sahabat kita yang sangat membantu, mendukung dan memudahkan kehidupan kita sehari-harinya. Baik syaitan dari kalangan jin ataupun manusia, baik dengan jalan yang nyata ataupun yang ghaib. Tidak tanggung-tanggung, upaya syaitan untuk menyesatkan ini dilakukan hingga titik terakhir kehidupan manusia, yakni ketika sakaratul maut.
Ketika manusia sedang menghadapi sakaratul maut, salah satu kesulitan atau kesakitan yang dihadapi adalah rasa haus yang tidak tertahankan sehingga seolah-olah membakar hati, tidak hanya rasa haus secara fisik, tetapi bisa juga yang bersifat ghaib. 
Mungkin orang-orang yang menjaga di sekitarnya telah memberinya minuman, tetapi rasa haus tidak serta-merta hilang. Dalam keadaan seperti inilah biasanya syaitan datang membawa minuman yang tampak sangat menggoda dan menyegarkan, khususnya terhadap kaum muslimin, terlebih kaum mukminin yang keimanannya sangat kuat. Sungguh mereka (para syaitan) itu sangat tidak rela jika seseorang itu meninggal dengan memperoleh keridhaan Allah.
Pada puncak kehausan yang seolah tidak tertahankan itu, syaitan akan datang dengan satu gelas minuman yang sangat segar, dan ia berdiri di sisi kepala seorang mukmin. Sang mukmin yang tidak menyadari kalau ia adalah syaitan, akan berkata, “Berilah aku air itu!!”
Syaitan berkata, “Baiklah, tetapi katakan terlebih dahulu bahwa dunia ini tidak ada yang menciptakan, maka aku akan memberikan air ini kepadamu!!”
Dalam riwayat lain disebutkan, syaitan akan berkata, “Tinggalkanlah agamamu ini, dan katakan bahwa Tuhan itu ada dua, maka engkau akan selamat dari kepedihan sakaratul maut ini!!”
Jika ia mempunyai keimanan yang cukup kokoh, ia akan menyadari kalau sosok pembawa air itu adalah syaitan, maka ia akan berpaling. Tetapi syaitan tidak berhenti dan putus asa, ia akan berdiri di arah kakinya dengan penampilan yang lain, masih dengan membawa minuman yang amat segar menggoda. Sang mukmin yang masih dilanda kehausan akan berkata kepadanya, “Berilah aku minuman itu!!”
Syaitan dalam penampilan lain itu berkata, “Baiklah, tetapi katakanlah bahwa Muhammad (Rasulullah SAW) itu adalah seorang pendusta, maka aku akan memberikan air ini kepadamu!!”
Setelah mendengar jawaban seperti itu, sang mukmin akan menyadari kalau syaitan tidak akan berhenti menggodanya hingga terlepas imannya. Maka ia akan bersabar dalam kehausan yang seakan membakar hati itu dan tidak akan meminta lagi. Ia akan menyibukkan diri dengan mengingat Allah memohon pertolongan dan keselamatan dari sisi-Nya.
Suatu kisah tentang seorang guru dan ulama yang sangat zuhud bernama Abu Zakaria, ketika sedang sakaratul beberapa orang sahabat dan muridnya menunggui beliau. Ketika Abu Zakaria tampak dalam kepayahan, seorang sahabatnya mengajarkan kalimat thayyibah, “Katakanlah : Laa ilaaha illallaah!!”
Tetapi di luar dugaan, Abu Zakaria memalingkan wajahnya. Sahabat di sisi lainnya juga berkata, “Katakanlah Laa ilaaha illallaah!!”
Lagi-lagi Abu Zakaria memalingkan wajah, bahkan ketika untuk ke tiga kalinya mereka memintanya membaca kalimat Thayyibah, Abu Zakaria berkata, “Aku tidak akan mengucapkan kalimat itu!!”
Setelah itu ia jatuh pingsan. Para sahabat dan murid-muridnya menangis sedih melihat keadaan itu, sungguh mereka tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi? Tetapi satu jam kemudian Abu Zakaria siuman dalam keadaan yang lebih segar. Ia berkata kepada sahabatnya, “Apakah tadi kalian mengucapkan sesuatu kepadaku??”
“Benar, tiga kali kami meminta engkau membaca syahadat, tetapi dua kali engkau berpaling dan ke tiga kalinya engkau berkata : Aku tidak akan mengucapkannya!! Karena itulah kami jadi bersedih!!”
Abu Zakaria berkata, “Sikap dan perkataanku itu bukanlah kutujukan kepada kalian…”
Kemudian Abu Zakaria menceritakan kalau Iblis telah mendatanginya dengan membawa semangkuk air yang tampak sangat segar, sementara ia merasa sangat hausnya. Iblis berdiri di sisi kanannya sambil menggerakkan mangkuknya sehingga kesegaran air itu makin menggoda, dan berkata, “Tidakkah engkau membutuhkan air??”
Ia tidak menjawab, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa haus, dan tertariknya dengan kesegaran air itu, maka iblis berkata lagi, “Katakanlah bahwa Isa adalah anak Allah!!”
Abu Zakaria berpaling dari iblis, yang saat itu bersamaan dengan sahabatnya yang meminta ia mengucap kalimat thayyibah untuk pertama kalinya. Tetapi iblis masih menghampiri dari arah yang lain, dan berdiri di dekat kakinya sambil mengatakan seperti sebelumnya. 
Maka ia berpaling lagi, yang bersamaan dengan sahabatnya yang memintanya membaca kalimat Thayyibah untuk ke dua kalinya. Belum putus asa juga, iblis menghampiri lebih dekat dengan bujuk rayunya yang memikat, mengiming-iminginya dengan minuman yang begitu segarnya, sambil berkata, “Katakanlah bahwa Allah itu tidak ada!!”
Maka dengan tegas Abu Zakaria berkata, “Aku tidak akan mengatakannya!!”
Saat yang bersamaan, sahabatnya sedang meminta dia mengucapkan kalimat thayyibah itu untuk yang ke tiga kalinya.
Abu Zakaria mengakhiri penjelasannya, “Seketika itu mangkok yang dibawa iblis jatuh dan pecah berantakan, kemudian ia lari terbirit-birit. Tetapi rasa haus itu begitu menggigit dan tidak tertahankan sehingga aku jatuh pingsan. 
Jadi, sikap dan perkataanku itu bukan untuk kalian, tetapi untuk menolak iblis. Dan sekarang kalian saksikan semua : Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammad ar rasuulullaah!!”
Setelah itu tubuh Abu Zakaria melemah, dan ia meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah.
Semoga kita juga mendapatkan khusnul khotimah...aamiiin. 
Sumber : (suaranetizen.com)

Rabu, 08 April 2015

Bagaimana Hukum Nikah Mut'ah Seperti Yang Di Lakukakan Orang-Orang Syi'ah






Assalamu’alaikum Wr. Wb.Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami.
Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget karena keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti.
Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alasan ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. 
Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan kemana.
Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?

Demikian, dan terimakasih atas bimbingannyaWassalam,Khadijah.Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. 
Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, 
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). 
Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. 
Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. 
Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. 
Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. 
Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. 
Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. 
Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. 
Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; 
yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. 
Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. 
Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a.,
dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. 
Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. 
Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. 
Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” 
Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.Hadis lain menyatakan:“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: 
“wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.)
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. 
Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul SAW masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. 
Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. 
Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. 
Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. 
Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. 
Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan.
Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. 
Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan.
Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. 
Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. 
Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. 
Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda Rasulullah SAW tersebut. 
Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya.
Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya. 
Wallahu a’lam bish-shawabi


(Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)


Catatan: Seluruh jawaban pertanyaan dalam kolom Konsultasi Syariah merupakan hasil ijtihad / pendapat murni penjawab yang terkait dan tidak merepresentasikan Muslimdaily.net. Antara satu ustadz dengan ustadz yang lain tidak terdapat hubungan sama sekali. Masing-masing mungkin memiliki pandangan / pendapat yang berbeda.